WkMedia.com – Sebanyak 15 musisi lintas genre dan daerah, dari nama-nama besar seperti Kunto Aji, Reality Club, hingga The Brandals, berkumpul di Ubud, Bali pada 23–28 Juni 2025. Mereka datang bukan untuk manggung atau festival biasa—melainkan untuk menyatukan suara dalam isu yang semakin mendesak: krisis iklim.
Kegiatan ini adalah bagian dari The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab (IKLIM)—sebuah ruang belajar, diskusi, dan kolaborasi yang mengangkat peran seni dalam menyuarakan isu lingkungan. Selama lima hari lokakarya intensif, para musisi menyelami beragam topik penting, mulai dari ancaman tambang nikel di Morowali, krisis deforestasi, ketergantungan Indonesia pada batu bara, hingga kampanye #SaveRajaAmpat.
Refleksi Personal, Aksi Kolektif
Bagi Kunto Aji, keterlibatannya dalam IKLIM bukan sekadar simbolis. Ia mengungkap keresahan pribadinya sebagai orang tua.
“Setiap hari saya hadapi udara buruk di Tangerang Selatan. Saya punya dua anak kecil. Saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak hirup,” katanya.
Sementara Cipoy dari band Sukatani menyadari bahwa dampak krisis iklim bukan hanya soal alam, tapi juga menyentuh manusia, budaya, hingga struktur sosial.
“Saya baru sadar, krisis ini menyentuh semua aspek kehidupan kita.”
Musik sebagai Medium Perubahan
Lokakarya ini bukan ajang kosong. Para musisi merumuskan aksi kolaboratif, bertanya serius: apa yang bisa dilakukan sebagai musisi?
Nama-nama seperti Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Iga Massardi, Endah Widiastuti (Endah N Rhesa), Petra Sihombing, hingga Robi Navicula hadir sebagai fasilitator. Mereka pernah terlibat dalam gerakan IKLIM sejak 2023, dan kini membagikan pengalaman untuk membangun semangat lintas generasi.
“Kita tahu penyebab krisis, kita tahu solusinya. Tapi tidak ada aksi. Lalu, apa yang bisa saya lakukan sebagai musisi?” tanya Kunto Aji.
Dari Diskusi ke Aksi Nyata
Sebagai bentuk nyata komitmen terhadap keberlanjutan, para peserta menutup lokakarya dengan penanaman pohon di Gianyar. Tapi perjuangan tak berhenti di situ. Hasil dari lokakarya ini akan diterjemahkan ke dalam karya musik, yang rencananya akan dibentuk dalam sebuah album kompilasi bertema “No Music On A Dead Planet” dan dirilis akhir 2025.
Kampanye global ini juga didukung musisi dunia seperti Billie Eilish, Tame Impala, dan Massive Attack—menegaskan bahwa musik punya kekuatan untuk menyentuh nurani dan mendorong perubahan sosial.
Raja Ampat dan Anggrek Biru yang Terancam
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi adalah ancaman pertambangan terhadap ekosistem Raja Ampat—khususnya Pulau Waigeo, habitat satu-satunya dari anggrek biru (Dendrobium azureum), spesies langka yang kini masuk daftar terancam punah secara global menurut IUCN.
Menurut Agus Hikmat, dosen dan peneliti dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, habitat anggrek biru yang belum rusak bisa terdampak aktivitas tambang jika tidak segera dilindungi secara hukum.
“Spesies ini hanya ada di Raja Ampat. Tapi ironisnya, belum masuk dalam daftar tumbuhan dilindungi Indonesia,” tegas Agus.
Ia mendorong agar pertambangan di kawasan Raja Ampat dihentikan demi menjaga keanekaragaman hayati unik, dan mengalihkannya ke wisata ekologis yang berkelanjutan.
Musik, Lingkungan, dan Masa Depan
Melalui IKLIM, para musisi tidak hanya belajar, tapi juga merenung dan bertindak. Mulai dari penanaman pohon, hingga menciptakan lagu yang akan menyuarakan keresahan dan harapan mereka akan bumi yang lebih baik.
Seperti kata Faiz (Reality Club), pengalaman ini bukan hanya untuk karya, tapi juga untuk menyebarkan kesadaran.
“Saya ingin menyampaikan ini ke fans, teman, keluarga. Karena menjaga lingkungan adalah tanggung jawab kita semua.”
Sumber: The Jakarta Post, Tempo.co, dan oohya.republika.co.id