WkMedia.com – Bulan Sya’ban adalah “permata” yang sering kali terlupakan di antara bulan-bulan lainnya. Seharusnya, ini menjadi waktu untuk membersihkan hati dan memperkokoh iman, sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadhan yang penuh berkah.
Inilah saatnya bagi setiap Muslim untuk memperbanyak ibadah, meningkatkan ketaatan, dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Sayangnya, ada sebagian orang yang justru terperangkap dalam kelalaian, menghabiskan bulan ini dengan perbuatan yang tidak bermanfaat, bahkan sampai berani durhaka kepada orang tua dan bermaksiat kepada Allah.
Kisah berikut ini menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang masih enggan menerima nasihat kebaikan.
Betapa bahayanya durhaka kepada orang tua, karena doa mereka terhadap anaknya adalah doa yang mustajab. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثَلَاثُ دَعْوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Tiga doa yang pasti dikabulkan, tidak ada keraguan padanya: doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Seorang anak yang tidak menghormati dan menyakiti hati orang tuanya bisa saja merasakan akibat buruk dari perbuatannya, sebagaimana kisah tragis yang menimpa seorang pemuda bernama Manazil bin ‘Adi. Kisah ini bisa dibaca dalam buku Syekh Mahmud Al-Mishri berjudul “Qashahs ash-Shaalihiin wa ash-Shaalihaat”.
Manazil bin ‘Adi adalah seorang pemuda yang terkenal dengan kemaksiatan, kelalaian, dan kesenangan duniawi. Ia tidak pernah menjauh dari perbuatan dosa, bahkan ketika bulan Sya’ban dan Ramadhan tiba, ia tetap dalam kemaksiatannya.
Ayahnya adalah seorang lelaki yang lembut hati dan penuh kasih sayang, yang tidak pernah lelah menasihatinya agar kembali ke jalan yang benar.
Ayahnya sering mengingatkan: “Wahai anakku, sesungguhnya Allah memiliki azab yang sangat pedih. Dia mengawasi setiap gerak-gerikmu, baik di malam maupun siang hari. Jangan sampai engkau terkena murka dan siksa-Nya.”
Sayangnya, Manazil tidak mau mendengar. Ia justru semakin durhaka, bahkan tega memukul ayahnya. Pukulannya kian keras setiap kali orang tuanya memberi nasihat.
Ayahnya pun tetap bersabar, tetapi akhirnya ia bertekad untuk berpuasa terus-menerus dan berdoa kepada Allah agar memberikan balasan atas kedurhakaan anaknya.
Ketika musim haji tiba, ayahnya pergi ke Mekkah. Di sana, ia berdoa di hadapan Ka’bah: “Ya Allah, Engkau yang didatangi oleh para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia. Mereka berharap rahmat dan ampunan-Mu. Aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengambil hakku dari anakku.”
Seketika itu juga, doa sang ayah dikabulkan. Manazil tiba-tiba lumpuh pada sisi kanan tubuhnya dan menjadi bahan perbincangan orang-orang yang melihatnya di sekitar Masjidil Haram.
Manazil akhirnya menyadari kesalahannya dan pergi menyusul ayahnya ke Mekkah untuk meminta maaf. Namun, saat ia tiba di sana, ayahnya sudah selesai berdoa. Dengan penuh penyesalan, ia meminta agar ayahnya memohonkan kesembuhan untuknya. Sang ayah, yang masih memiliki kasih sayang kepadanya, akhirnya luluh dan berjanji akan mendoakannya.
Tahun berikutnya, Manazil kembali ke Mekkah bersama ayahnya. Namun, di tengah perjalanan, sebuah insiden terjadi. Seekor burung yang terkejut terbang dari sarangnya, menyebabkan unta yang ditumpangi ayahnya kaget dan menjatuhkannya. Akibatnya, ayahnya meninggal dunia seketika.
Manazil semakin terpukul dan menyesali semua yang telah ia lakukan. Sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti menangis, memohon ampunan Allah, dan beribadah di Baitullah dengan penuh ketundukan.
Kisahnya menjadi peringatan bagi siapa saja agar tidak meremehkan durhaka kepada orang tua. Kisah ini mengandung beberpaa pelajaran penting:
Pertama, Jangan Menghabiskan Bulan Sya’ban dengan Maksiat. Bulan ini adalah waktu untuk bersiap menyambut Ramadhan. Gunakan kesempatan ini untuk bertobat dan memperbanyak amal shaleh.
Para salafus saleh, ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk melakukan amal saleh berupa membaca Al-Qur’an, sedekah dan lain sebagainya sebagai persiapan menyongsong Ramadhan. Bahkan bulan ini disebut “Syahrul Qurraa” (Bulan Para Pembaca Al-Qur’an).
Lebih jauh lagi, bulan ini diibaratkan sebagai bulan untuk merawat tanaman yang sudah ditanam di bulan Rajab yang akan dipetik hasilnya pada bulan Ramadhan.
Kedua, durhaka kepada orang tua adalah dosa besar.
Doa orang tua bisa menjadi berkah atau bencana bagi anaknya. Hormati dan taati mereka sebelum terlambat. Sesabar apapun orang tua, terkadang juga ada batasnya, maka selagi sempat, jangar membuatnya murka dengan kedurhakaan kita.
Ketiga, sanksi Allah nyata dan bisa datang kapan saja.
Manazil mengalami akibat dari dosa-dosanya di dunia sebelum di akhirat. Ini menunjukkan bahwa maksiat membawa konsekuensi yang nyata.
Keempat, pintu tobat selalu terbuka.
Meski Manazil terlambat menyadari kesalahannya, ia akhirnya bertaubat dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ibadah. Allah Maha Pengampun bagi siapa saja yang kembali kepada-Nya dengan tulus.
Melalui kisah ini para pembaca bisa menjadikannya pelajaran agar tidak menunda tobat dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang tua. Ibarat nasih sudah jadi bubur, jangan sampai penyesalan datang ketika segalanya sudah terlambat.
(Hidayatullah)