WkMedia.com – Sebuah kapal sipil bernama Madleen belakangan menyita perhatian dunia. Bukan karena kekuatan militernya—karena kapal ini sama sekali tak bersenjata—melainkan karena misinya: membawa bantuan kemanusiaan dan pesan solidaritas global bagi rakyat Gaza yang terjebak dalam blokade berkepanjangan oleh Israel.
Namun di tengah perairan internasional, kapal ini disergap oleh militer Israel dengan helikopter, drone, hingga kapal cepat. Banyak pihak mengecam keras tindakan ini, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional dan bentuk pelecehan terhadap prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.
Tak hanya membawa makanan dan obat-obatan, Madleen juga mengangkat simbol perlawanan terhadap ketidakadilan global. Di tengah gelombang diamnya negara-negara Arab dan elite Palestina yang dinilai abai, justru para aktivis dari Eropa—termasuk tokoh iklim Greta Thunberg dan politisi Prancis Rima Hassan—turut serta mengibarkan nurani dari kapal ini.
Sejarah mencatat kisah Dunkirk di tahun 1940, saat kapal-kapal sipil Inggris menembus perairan untuk menyelamatkan pasukan Sekutu yang terjebak. Tak ada perintah. Tak ada izin. Hanya keberanian.
Kini, dunia bertanya: Mungkinkah Gaza memiliki momen Dunkirk-nya sendiri? Mungkinkah masyarakat global bangkit dan berkata: Cukup sudah penderitaan ini! Bagaimana jika orang-orang di seluruh dunia menolak untuk diam saat sebuah bangsa dilaparkan, dibantai, dan dihapuskan?
Tragedi Madleen bukanlah insiden pertama. Tepat 58 tahun lalu, Israel pernah menyerang kapal intelijen milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Liberty, menewaskan 34 awak dan melukai 171 orang. Meskipun Israel menyebutnya sebagai kesalahan, beberapa orang masih percaya itu dilakukan secara sengaja.Dan kini, di laut yang sama, Israel kembali menggunakan kekuatan militer terhadap kapal sipil pembawa makanan.
Dengan dukungan senjata dan veto dari Amerika Serikat, serta sikap bungkam dari banyak negara Arab, Israel terus melanjutkan kampanye militer di Gaza. Rumah sakit dibom, sekolah dihancurkan, pengungsi dibakar dalam tenda, dan anak-anak kelaparan. Dunia menyaksikan—namun nyaris tak bersuara.
Israel melancarkan perang ini dengan keberanian yang lahir dari ketidakpedulian dunia. Mereka menginjak hukum internasional, membakar pengungsi di dalam tenda, melaparkan anak-anak, membom rumah sakit, meratakan sekolah, mengeksekusi petugas medis, menembak anak-anak yang sedang mengambil roti. Dan mereka hanya mengangkat bahu, yakin bahwa tidak akan ada konsekuensi.
Yang dipertaruhkan bukan hanya kelangsungan hidup suatu bangsa. Tapi arah moral peradaban.
Apakah kita menginginkan dunia di mana hukum tak berarti, di mana genosida diubah namanya menjadi pembelaan diri, di mana kelaparan dijadikan strategi militer dan kebenaran menjadi beban?
Madleen adalah cermin. Ia memperlihatkan kepada kita dunia seperti apa adanya—dan dunia seperti seharusnya. Pembebasan bukanlah hadiah dari mereka yang berkuasa. Itu adalah proyek dari mereka yang tak punya kuasa.
“Kita pikir kita sedang membebaskan Palestina. Tapi justru Palestina yang membebaskan kita.”
– Politisi Prancis, Rima Hassan
Sebagaimana ditulis oleh politisi Prancis Rima Hassan dari atas kapal Madleen:
“Saat mereka menangkap kami, aku akan menatap mereka seperti Larbi Ben M’Hidi memandang para penjajah tanah airnya—tenang, yakin akan pembebasan… Kita pikir kita sedang membebaskan Palestina. Tapi justru Palestina yang membebaskan kita.”
Rima Hassan melanjutkan:
“Aku menuduh adanya keterlibatan kolonial Barat. Aku menuduh pengecutnya negara-negara Arab. Aku menuduh korupnya elit Palestina. Dan aku berdiri bersama para pemberontak, para pemimpi, mereka yang tak mau tunduk, mereka yang menolak ketidakteraturan dunia ini.”
Sumber: Middle East Eye